Pukul tujuh pagi di jalanan Ibu Kota. Sudah ingin menghela nafas saja rasanya. Yak, jalanan Jakarta yang bagaikan rimba belantara. Bagaikan pepohonan di hutan, jalannya penuh sesak kendaraan. Anak-anak pergi ke sekolah, para pekerja yang terus menambah pundi-pundi demi keluarga. Semua berpadu di rimba jalanan Jakarta. Gigih, salah satu yang terlibat di tengah kekacauan jalanan. Berpacu dengan waktu, mengingat ada meeting jam delapan pagi, yak tinggal sejam lagi. Seorang yang berwatak sama seperti namanya, gigih dalam bekerja, adalah seorang perantau yang selamat di tengah kejamnya rimba. Bekerja demi keluarga, yang dia tinggal, pergi ke tanah rantau mencari peruntungan. “Pak, kira-kira sampai kantor berapa lama lagi ya?” tanya Gigih pada sopirnya, Pak Darmin. “Yah, Mas ini paling dua jam lagi sampai kantor. Macetnya parah sekali kayanya karena lagi ada proyek,” tukas Pak Darmin. “Ya sudah, saya naik ojek saja paling Pak, ada meeting jam delapan. Ndak enak juga kalau saya telat. Nanti Bapak langsung pulang saja ya, bilang ke Mbok Inem kalau saya mungkin pulang agak malam,” pesan Gigih. “Ndak papa Mas? Kalau gitu nanti saya sampaikan pesan Mas ke Mbok Inem, saya tau kalau Mas ada keperluan penting pasti seperti ini,” balasnya sambil meminggirkan mobil sedannya ke tepian jalan. Gigih bergegas keluar mobilnya dan mencari ojek guna sampai ke kantornya. Haram hukumnya kalau sampai telat baginya. Gigih yang sekarang adalah seorang eksekutif yang memegang peran penting di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Di usia mudanya, Gigih sudah mendapat penghasilan yang bisa dibilang lumayan, bagi kalangan petinggi perusahaan. Walau sudah menduduki posisi penting di perusahaan Gigih ingat perkataan mendiang Mboknya. “Le, kalau nanti kamu sudah sukses jangan lupa sama tanggung jawab akan keluargamu ya. Paling penting jangan lupa sholatnya jalan terus,” pesan Mbok. Tinggal di sebuah rumah di Jakarta Selatan bersama kedua asisten yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Ada Pak Dirman sebagai sopir dan Mbok Inem yang merupakan asisten rumah tangga. Pak Dirman sering mengantar jemput Gigih saat ke kantor dan Mbok Inem yang mengurusi urusan rumah tangga Gigih. Ya mereka berdualah yang menjadi teman keseharian Gigih. Mereka sudah dianggap sebagai kedua orang tuanya sepeninggal mendiang Bapak dan Mboknya. Bapak sudah meninggal dunia sejak Gigih masih di bangku Sekolah Menengah Pertama di Semarang dan Mbok menyusul saat Gigih menginjak bangku kuliah. Sebenarnya Gigih masih punya dua adik yang semua tinggal di kampung halamannya di Semarang. Yang satu, Bagas masih duduk di bangku kelas 11 SMA dan satu lagi Melati yang duduk di bangku kelas 7 SMP. Keduanya saat ini dititipkan bersama Bude Katni, adik dari mendiang Mbok Gigih. *** Seperti biasa pukul lima sore, Pak Dirman menelepon Gigih untuk menjemputnya di kantor. Mungkin dia lupa pesan Gigih tadi pagi kalau dia pulang agak malam. “Halo, Assalamualaikum Mas Gigih, gimana kerjaanya sudah selesai? Mau pulang sekarang Mas?” tanya Pak Dirman. “Ah, Waalaikumsalam Pak Dirman, maaf sepertinya Gigih balik agak malaman masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Biar Bapak tidak repot nanti Gigih balik sendiri saja naik taksi, Bapak ndak usah khawatir,” jawab Gigih. “Ndak opo-opo to Mas? Yo wes, hati-hati mas, nanti tak bilangin sama Mbok, kalau makan malam buat Mas Gigih tolong disimpan dulu, nanti kalo Mas mau makan tinggal dipanasin aja ya, gimana?” katanya. “Ya terima kasih Pak Dirman, nanti saya kabari lagi ya. Assalamulaikum.” “Waalaikumsalam,” Pak Dirman menutup teleponnya. Ya, terkadang perkerjaan Gigih tidak mengenal waktu, kadang hingga larut malam bahkan sampai menginap di kantor. Hari itu untungnya pekerjaan bisa diselesaikan malam itu juga. Jam tangan Gigih sudah menunjukkan pukul 7 malam. Gigih bergegas memesan taksi dan pulang ke rumahnya. Ya jalanan Jakarta tetap ganas bahkan di larut malam, walau tak seganas pagi. Gigih tiba di rumahnya sekitar pukul 8 malam. Pak Dirman yang sedari tadi terjaga, langsung membukakan pintu gerbang. Mbok Inem ternyata sudah terlelap di kamarnya karena saking banyaknya pekerjaan rumah tadi. “Mbok Inem sudah tidur ya Pak?” tanya Gigih. “Iya Mas, sepertinya kecapean membersihkan halaman belakang tadi pagi, lebih baik Mas Gigih mandi saja biar segeran. Kalau mau makan nanti Bapak Dirman siapkan, terus istirahat besok pasti masih banyak kerjaan,” saran Pak Dirman. “Baik Pak, tapi Bapak mau temenin Gigih sebentar nanti? Ada beberapa hal yang mau saya omongin bareng Bapak,” tanyanya lagi. “Boleh, nanti saya tunggu di ruang depan saja Mas,” tukas Pak Dirman. Gigih segera mandi dan makan makanan yang dibuat Mbok Inem. Ikan bandeng goreng, makanan kesukaan Gigih. Mengingatkan akan kenangan makan malam bersama Mbok dan kedua adiknya di kampung. Setelah makan dia pun menghampiri Pak Dirman yang sudah menunggu di ruang depan. Gigih membawa sebuah frame foto kecil yang dari dulu dia simpan di lemarinya. Dibawanya bersama dua cangkir kopi hangat untuk mereka berdua. “Mas itu yang dibawa apa Mas? Sepertinya foto sama bingkainya,” tanya Pak Dirman. “Iya Pak, ini foto bersama mendiang Mbok saat masih di Semarang dulu. Mbok itu orangnya ayu tenan deh Pak,” seru Gigih. “Jadi ingat dulu saat masih kuliah di Semarang itu rasanya sulit sekali Pak. Mbok saya hanya seorang pedagang jajanan di pasar. Buat makan sehari-hari saja susah, soalnya buat berempat. Apalagi buat biaya sekolah dulu. Saya juga harus bekerja sehabis kuliah, itung-itung buat bantuin Mbok juga Pak Dirman,” jelas Gigih lagi. “Mas Gigih itu anak yang berbakti sekali pada orang tua. Walau sudah ditinggal Bapak tapi Mas Dirman Gigih menyerah. Sekarang Bapak dan Mbok Mas Dirman, sudah tiada, tapi Mas Dirman masih saja kerja keras.” “Masih ada tanggungan dua orang adik saya Pak di Semarang. Kasian kan kalau Bude Katni yang biayain mereka berdua sendiri. Masih ingat juga pesan Mbok sebelum meninggal dunia, kerja keras, jangan lupa ibadah, dan ingat pada keluarga.” Pak Dirman lalu meminjam frame foto milik Gigih. Memang paras Mbok Gigih memang cantik sekali. Tampaknya foto itu diambil saat Gigih masih SMP. Fotonya sudah tampak agak kusam dan banyak debu di mana-mana. Tak sengaja Pak Dirman membuka tutup belakang frame, foto Gigih bersama Mbok terjatuh ke lantai, namun untungnya kaca frame tidak ikut terjatuh karena ditahan oleh tangan Pak Dirman. Sejenak Pak Dirman melihat ada yang tertulis dibalik foto tersebut. Dengan hati-hati Pak Dirman mengambil foto tersebut, dan membaca tulisan dibaliknya. Tampaknya tulisan ini untuk Gigih. “Pak Dirman tidak kenapa-kenapa?” tanya Gigih. “Ndak apa-apa. Ini sepertinya tulisan buat Mas Gigih,” kata Pak Dirman sambil menyerahkan foto kepada Gigih. Gigih mengambil foto itu dan lalu membaca tulisan yang ada di belakangnya. Isinya tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa kalimat dengan tulisan sambung gaya orang tua dahulu. Sejenak Gigih membacanya, tidak ada kata dan tidak ada suara apapun yang keluar darinya. Termenung menatap tulisan itu. Untuk Gigih, Anak sulungku yang kelak jadi pemimpin keluarga. Ingat Nak, Bapakmu sekarang sudah tiada. Tinggal Mbok dan kamu yang jadi tulang punggung keluarga. Masih ada tanggung jawab untuk Bagas dan Melati. Nak, mungkin umur Mbok juga tinggal sebentar lagi. Moga-moga Gusti Allah memberi umur panjang. Bekerja jangan lupa dengan belajar Nak. Jadi orang yang sukses jangan seperti Bapak dan Mbokmu ini. Nak, kalau Mbok sudah tiada, Mbok titipkan Bagas dan Melati pada Gigih. Mungkin Bude Katni mau bantu, tapi ndak enak juga. Gigih biayai pendidikan Bagas dan Melati biar sukses seperti kamu nanti. Mbok ndak bisa merangkai kata yang bagus Gih. Ingat bakal ada tanggung jawab besar di pundakmu Gih. Jangan lupa kerja keras, terus belajar dan jangan lupa ibadah. Air mata haru Gigih pun menetes. Tak deras, setitik saja mengalir di pipinya. Tulisan itu adalah tulisan Mbok. Gigih ingat kalau foto itu diambil setelah mendiang Bapaknya berpulang dan tulisan itu memang ditujukan untuknya.
“Terima kasih Mbok selama ini. Gigih ndak akan lupa dengan pesan yang sampaikan. Semoga Mbok tenang di alam sana bersama Bapak. Doakan agar Gigih sukses dan bisa terus menghidupi Bagas dan Melati…” Tangis Gigih semakin menjadi, kerinduan akan sosok seorang Mbok yang sudah lama berpulang mengingatkannya akan sebuah tanggung jawab besar. Bapak dan Mbok pasti sudah bahagia di alam sana. Tinggallah Gigih dengan tanggung jawabnya. Sebuah tanggung jawab yang besar akan sebuah keluarga.■
0 Comments
|
Archives
October 2017
Categories
All
|