Barisan massa aksi sudah bersiap di depan Istana Negara sejak pagi. Warna-warni jaket almamater mahasiswa dari berbagai kampus bersatu padu di siang yang panas terik kala itu. Gemuruh lantang orasi mahasiswa kian memanaskan suasana. Suara jeritan rakyatlah yang mereka bela.
Buruh tani, mahasiswa, rakyat miskin kota… Bersatu padu rebut demokrasi… Alunan lantang barisan mahasiswa. Barisan border seakan menantang penindasan, kibaran panji-panji tiap kampus menjulang tinggi menyuarakan kebenaran. “Pengalaman saat aksi yang berkesan ketika massa aksi diblokade dan dikelilingi polisi huru-hara beserta water cannon-nya di Istana Negara beberapa bulan lalu. Massa aksi bahkan memutuskan menginap di Masjid Istiqlal, hal ini membuat saya berkesan karena perjuangan tidak akan berhenti ketika idealisme kita coba dikepung,” kata Fikri Azmi, Ketua BEM Politeknik Negeri Jakarta. Seperti diketahui saat ini Politeknik Negeri Jakarta memegang peranan penting sebagai Koordinator Wilayah (Korwil) BEM Se-Jabodetabek – Banten (BSJB). “Fungsi dari koordinator wilayah sendiri antara lain menghimpun dan mengkoordinasi kampus-kampus di wilayah Jabodetabek – Banten yang tergabung dalam Aliansi BEM SI dalam menanggapi isu regional,” ujar Fikri. “Pengaruh amanah ini untuk PNJ sendiri adalah sudah pasti nama PNJ menjadi ter-blow up di kancah nasional, dan pengaruh lainnya tentu kita butuh pasukan, pikiran, dan doa ekstra dalam menjalankan amanah ini,” tambahnya. *** Massa aksi Politeknik Negeri Jakarta dikenal dengan jumlahnya yang selalu banyak di setiap aksi yang dilakukan. “Mahasiswa PNJ selalu punya semangat berapi-api saat aksi. Mayoritas paham dengan isu yang ada, tetapi tidak menutup kemungkinan ada juga mahasiswa yang hanya mengetahui judul aksinya saja,” kata Rivo Ma’ruf, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM PNJ. “Mahasiswa PNJ pasti sadar betul dengan lima fungsi mahasiswa. Esensi dari hal itu adalah mahasiswa sebagai penggerak utama dalam sebuah perubahan dan juga pengawalan pemerintah atas sebuah kebijakannya,” jelas Rivo. *** Tak bisa dipungkiri, sebagai mahasiswa selain memiliki amanah untuk rakyat, ada juga amanah dari orang tua tentunya. “Intinya adalah pembagian waktu dan sama-sama mem-prioritaskan. Orang tua saya setuju kalau saya aksi, dan orang tua juga mengamanahkan untuk belajar. Tinggal bagaimana manajemen waktunya saja,” jelas Fikri. Sama halnya yang dikatakan oleh Rivo, “Dari orang tua, khususnya ibu, mendukung ketika kami mahasiswa bergerak pada koridor dan esensi yang seharusnya. Dengan pengingat juga dalam bentuk nasihat atau wejangan dari orang tua, bahwa kami mahasiswa juga harus pintar dan berprestasi tanpa meninggalkan pergerakan. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!”■
6 Comments
Pukul tujuh pagi di jalanan Ibu Kota. Sudah ingin menghela nafas saja rasanya. Yak, jalanan Jakarta yang bagaikan rimba belantara. Bagaikan pepohonan di hutan, jalannya penuh sesak kendaraan. Anak-anak pergi ke sekolah, para pekerja yang terus menambah pundi-pundi demi keluarga. Semua berpadu di rimba jalanan Jakarta. Gigih, salah satu yang terlibat di tengah kekacauan jalanan. Berpacu dengan waktu, mengingat ada meeting jam delapan pagi, yak tinggal sejam lagi. Seorang yang berwatak sama seperti namanya, gigih dalam bekerja, adalah seorang perantau yang selamat di tengah kejamnya rimba. Bekerja demi keluarga, yang dia tinggal, pergi ke tanah rantau mencari peruntungan. “Pak, kira-kira sampai kantor berapa lama lagi ya?” tanya Gigih pada sopirnya, Pak Darmin. “Yah, Mas ini paling dua jam lagi sampai kantor. Macetnya parah sekali kayanya karena lagi ada proyek,” tukas Pak Darmin. “Ya sudah, saya naik ojek saja paling Pak, ada meeting jam delapan. Ndak enak juga kalau saya telat. Nanti Bapak langsung pulang saja ya, bilang ke Mbok Inem kalau saya mungkin pulang agak malam,” pesan Gigih. “Ndak papa Mas? Kalau gitu nanti saya sampaikan pesan Mas ke Mbok Inem, saya tau kalau Mas ada keperluan penting pasti seperti ini,” balasnya sambil meminggirkan mobil sedannya ke tepian jalan. Gigih bergegas keluar mobilnya dan mencari ojek guna sampai ke kantornya. Haram hukumnya kalau sampai telat baginya. Gigih yang sekarang adalah seorang eksekutif yang memegang peran penting di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Di usia mudanya, Gigih sudah mendapat penghasilan yang bisa dibilang lumayan, bagi kalangan petinggi perusahaan. Walau sudah menduduki posisi penting di perusahaan Gigih ingat perkataan mendiang Mboknya. “Le, kalau nanti kamu sudah sukses jangan lupa sama tanggung jawab akan keluargamu ya. Paling penting jangan lupa sholatnya jalan terus,” pesan Mbok. Tinggal di sebuah rumah di Jakarta Selatan bersama kedua asisten yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Ada Pak Dirman sebagai sopir dan Mbok Inem yang merupakan asisten rumah tangga. Pak Dirman sering mengantar jemput Gigih saat ke kantor dan Mbok Inem yang mengurusi urusan rumah tangga Gigih. Ya mereka berdualah yang menjadi teman keseharian Gigih. Mereka sudah dianggap sebagai kedua orang tuanya sepeninggal mendiang Bapak dan Mboknya. Bapak sudah meninggal dunia sejak Gigih masih di bangku Sekolah Menengah Pertama di Semarang dan Mbok menyusul saat Gigih menginjak bangku kuliah. Sebenarnya Gigih masih punya dua adik yang semua tinggal di kampung halamannya di Semarang. Yang satu, Bagas masih duduk di bangku kelas 11 SMA dan satu lagi Melati yang duduk di bangku kelas 7 SMP. Keduanya saat ini dititipkan bersama Bude Katni, adik dari mendiang Mbok Gigih. *** Seperti biasa pukul lima sore, Pak Dirman menelepon Gigih untuk menjemputnya di kantor. Mungkin dia lupa pesan Gigih tadi pagi kalau dia pulang agak malam. “Halo, Assalamualaikum Mas Gigih, gimana kerjaanya sudah selesai? Mau pulang sekarang Mas?” tanya Pak Dirman. “Ah, Waalaikumsalam Pak Dirman, maaf sepertinya Gigih balik agak malaman masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Biar Bapak tidak repot nanti Gigih balik sendiri saja naik taksi, Bapak ndak usah khawatir,” jawab Gigih. “Ndak opo-opo to Mas? Yo wes, hati-hati mas, nanti tak bilangin sama Mbok, kalau makan malam buat Mas Gigih tolong disimpan dulu, nanti kalo Mas mau makan tinggal dipanasin aja ya, gimana?” katanya. “Ya terima kasih Pak Dirman, nanti saya kabari lagi ya. Assalamulaikum.” “Waalaikumsalam,” Pak Dirman menutup teleponnya. Ya, terkadang perkerjaan Gigih tidak mengenal waktu, kadang hingga larut malam bahkan sampai menginap di kantor. Hari itu untungnya pekerjaan bisa diselesaikan malam itu juga. Jam tangan Gigih sudah menunjukkan pukul 7 malam. Gigih bergegas memesan taksi dan pulang ke rumahnya. Ya jalanan Jakarta tetap ganas bahkan di larut malam, walau tak seganas pagi. Gigih tiba di rumahnya sekitar pukul 8 malam. Pak Dirman yang sedari tadi terjaga, langsung membukakan pintu gerbang. Mbok Inem ternyata sudah terlelap di kamarnya karena saking banyaknya pekerjaan rumah tadi. “Mbok Inem sudah tidur ya Pak?” tanya Gigih. “Iya Mas, sepertinya kecapean membersihkan halaman belakang tadi pagi, lebih baik Mas Gigih mandi saja biar segeran. Kalau mau makan nanti Bapak Dirman siapkan, terus istirahat besok pasti masih banyak kerjaan,” saran Pak Dirman. “Baik Pak, tapi Bapak mau temenin Gigih sebentar nanti? Ada beberapa hal yang mau saya omongin bareng Bapak,” tanyanya lagi. “Boleh, nanti saya tunggu di ruang depan saja Mas,” tukas Pak Dirman. Gigih segera mandi dan makan makanan yang dibuat Mbok Inem. Ikan bandeng goreng, makanan kesukaan Gigih. Mengingatkan akan kenangan makan malam bersama Mbok dan kedua adiknya di kampung. Setelah makan dia pun menghampiri Pak Dirman yang sudah menunggu di ruang depan. Gigih membawa sebuah frame foto kecil yang dari dulu dia simpan di lemarinya. Dibawanya bersama dua cangkir kopi hangat untuk mereka berdua. “Mas itu yang dibawa apa Mas? Sepertinya foto sama bingkainya,” tanya Pak Dirman. “Iya Pak, ini foto bersama mendiang Mbok saat masih di Semarang dulu. Mbok itu orangnya ayu tenan deh Pak,” seru Gigih. “Jadi ingat dulu saat masih kuliah di Semarang itu rasanya sulit sekali Pak. Mbok saya hanya seorang pedagang jajanan di pasar. Buat makan sehari-hari saja susah, soalnya buat berempat. Apalagi buat biaya sekolah dulu. Saya juga harus bekerja sehabis kuliah, itung-itung buat bantuin Mbok juga Pak Dirman,” jelas Gigih lagi. “Mas Gigih itu anak yang berbakti sekali pada orang tua. Walau sudah ditinggal Bapak tapi Mas Dirman Gigih menyerah. Sekarang Bapak dan Mbok Mas Dirman, sudah tiada, tapi Mas Dirman masih saja kerja keras.” “Masih ada tanggungan dua orang adik saya Pak di Semarang. Kasian kan kalau Bude Katni yang biayain mereka berdua sendiri. Masih ingat juga pesan Mbok sebelum meninggal dunia, kerja keras, jangan lupa ibadah, dan ingat pada keluarga.” Pak Dirman lalu meminjam frame foto milik Gigih. Memang paras Mbok Gigih memang cantik sekali. Tampaknya foto itu diambil saat Gigih masih SMP. Fotonya sudah tampak agak kusam dan banyak debu di mana-mana. Tak sengaja Pak Dirman membuka tutup belakang frame, foto Gigih bersama Mbok terjatuh ke lantai, namun untungnya kaca frame tidak ikut terjatuh karena ditahan oleh tangan Pak Dirman. Sejenak Pak Dirman melihat ada yang tertulis dibalik foto tersebut. Dengan hati-hati Pak Dirman mengambil foto tersebut, dan membaca tulisan dibaliknya. Tampaknya tulisan ini untuk Gigih. “Pak Dirman tidak kenapa-kenapa?” tanya Gigih. “Ndak apa-apa. Ini sepertinya tulisan buat Mas Gigih,” kata Pak Dirman sambil menyerahkan foto kepada Gigih. Gigih mengambil foto itu dan lalu membaca tulisan yang ada di belakangnya. Isinya tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa kalimat dengan tulisan sambung gaya orang tua dahulu. Sejenak Gigih membacanya, tidak ada kata dan tidak ada suara apapun yang keluar darinya. Termenung menatap tulisan itu. Untuk Gigih, Anak sulungku yang kelak jadi pemimpin keluarga. Ingat Nak, Bapakmu sekarang sudah tiada. Tinggal Mbok dan kamu yang jadi tulang punggung keluarga. Masih ada tanggung jawab untuk Bagas dan Melati. Nak, mungkin umur Mbok juga tinggal sebentar lagi. Moga-moga Gusti Allah memberi umur panjang. Bekerja jangan lupa dengan belajar Nak. Jadi orang yang sukses jangan seperti Bapak dan Mbokmu ini. Nak, kalau Mbok sudah tiada, Mbok titipkan Bagas dan Melati pada Gigih. Mungkin Bude Katni mau bantu, tapi ndak enak juga. Gigih biayai pendidikan Bagas dan Melati biar sukses seperti kamu nanti. Mbok ndak bisa merangkai kata yang bagus Gih. Ingat bakal ada tanggung jawab besar di pundakmu Gih. Jangan lupa kerja keras, terus belajar dan jangan lupa ibadah. Air mata haru Gigih pun menetes. Tak deras, setitik saja mengalir di pipinya. Tulisan itu adalah tulisan Mbok. Gigih ingat kalau foto itu diambil setelah mendiang Bapaknya berpulang dan tulisan itu memang ditujukan untuknya.
“Terima kasih Mbok selama ini. Gigih ndak akan lupa dengan pesan yang sampaikan. Semoga Mbok tenang di alam sana bersama Bapak. Doakan agar Gigih sukses dan bisa terus menghidupi Bagas dan Melati…” Tangis Gigih semakin menjadi, kerinduan akan sosok seorang Mbok yang sudah lama berpulang mengingatkannya akan sebuah tanggung jawab besar. Bapak dan Mbok pasti sudah bahagia di alam sana. Tinggallah Gigih dengan tanggung jawabnya. Sebuah tanggung jawab yang besar akan sebuah keluarga.■ Kecamatan Giriwoyo merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Wonogiri. Menjadi pusat pertemuan tiga jalur penghubung provinsi, sudah tentu kecamatan ini dipadati oleh hilir mudik kendaraan. Belum dikelola dengan baik, menjadi tirai penutup keindahan pariwisata Giriwoyo.
Kabupaten Wonogiri terletak di sebelah tenggara Provinsi Jawa Tengah. Letaknya berbatasan langsung dengan dua provinsi, yakni Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terkenal dengan Waduk Gajahmungkur dan tentu makanan khas, bakso dan mie ayam Wonogiri yang terkenal citarasanya. Kabupaten Wonogiri menjadi pusat hilir mudik kendaraan, baik angkutan orang maupun barang. Salah satunya di Kecamatan Giriwoyo. Giriwoyo menjadi pusat pertemuan arus kendaraan baik yang datang atau menuju Yogyakarta, Pacitan, dan Solo. Giriwoyo dapat diakses baik melalui jalur darat atau udara. Bus merupakan sarana transportasi yang paling terjangkau. Banyaknya perusahaan angkutan bus menyebabkan banyak pemudik−terutama saat mudik lebaran−memilih moda transportasi ini. Pemudik yang menggunakan sarana transportasi kereta api dapat menuju Solo atau Yogyakarta untuk selanjutnya menggunakan angkutan darat lain. Sedangkan pengguna transportasi udara dapat menuju Bandar Udara Adisumarmo di Solo dan Bandar Udara Adisucipto di Yogyakarta. Suasana pedesaan sangat terasa di daerah ini. Masih banyak rumah penduduk yang menggunakan kayu jati dan beralaskan tanah. Walaupun dibeberapa titik sudah banyak perkembangan karena laju ekonomi yang baik. Penduduk Giriwoyo mayoritas bermatapencaharian petani. Komoditi yang dihasilkan yakni padi, ubi jalar, kedelai, jagung, kacang tanah, dan tanaman lainnya. Selain itu ada yang bekerja sebagai pengrajin mebel, pengrajin wayang kulit, pembuatan gerabah, genting, batu bata, dan pengrajin batu mulia. Giriwoyo memiliki beberapa tempat wisata, baik wisata spiritual, wisata alam, petualangan, dan lain sebagainya. Selain Waduk Gajahmungkur, di Dusun Nawangan, Desa Platarejo, Giriwoyo juga terdapat Waduk Nawangan. Walau tak sebesar Waduk Gajahmungkur, waduk ini menawarkan pengalaman yang menarik. Waduk Nawangan terletak di atas pegunungan yang dikelilingi hutan pinus. Untuk menuju Waduk Nawangan diperlukan perjalanan sejauh 2 kilometer dari Jalan Raya Batu−Giribelah. Akses jalan sudah beraspal sehingga mudah dijangkau. Masih di desa yang sama, tepatnya di Dusun Platar, Desa Platarejo, Giriwoyo terdapat Goa Lawa Platar yang letaknya tidak jauh dari Waduk Nawangan. Dinamakan Goa Lawa karena di dalamnya terdapat banyak lawa (kelelawar) yang bergelantungan di dinding gua. Gua alami ini dihiasi oleh stalagtit dan stalagnit, serta mata air yang mengalir dari dalam. Selain wisata alam waduk dan gua, Kecamatan Giriwoyo juga terdapat wisata spiritual dan kerohanian, khususnya bagi umat kristiani. Masih di Desa Platarejo terdapat Goa Maria Sendang Ratu Kenya. Pada bulan-bulan tertentu, tempat ini selalu ramai dikunjungi umat kristiani untuk melakukan peribadatan. Letaknya yang di atas perbukitan, tempat ini menawarkan pemandangan yang indah. Tidak lengkap rasanya apabila berwisata tanpa mencicipi kuliner daerah setempat. Jika bakso dan mie ayam sudah biasa, wisatawan dapat mengunjungi Warung Mbah Sembleng. Warung ini letaknya tidak jauh dari Goa Maria Sendang Ratu Kenya. Di sana menyajikan makanan dengan citarasa pedesaan. Tidak ada meja dan kursi, pengunjung menikmati makanannya di pawon−berarti dapur dalam bahasa Jawa. Masakan yang disediakan adalah masakan rumahan, misal nasi tiwul khas Wonogiri, nasi putih, jangan lombok, ikan asin goreng, lalapan, trancam, dan gorengan. Selain masakan rumah khas Warung Mbah Sembleng, wisatawan juga dapat mencoba nasi kuning Warung Mbah Rumi. Letaknya dekat dengan pasar dan terminal Giriwoyo. Aroma khas daun jati yang dijadikan pembungkus nasi kuning menambah citarasa saat menyantapnya. Dengan lauk telur, ayam atau tahu tempe, nasi kuning Mbah Rumi cocok dijadikan sarapan setibanya di Giriwoyo. Giriwoyo menyimpan banyak keindahan, walau tampilan luarnya saat ini masih biasa, tandus dan kering. Potensi wisata Giriwoyo tidak kalah dengan daerah lain di Jawa Tengah. Suasana pedesaan menjadi salah satu keunggulan. Tinggal seberapa besar kemauan untuk membuka tirai penutup, agar keindahan yang tersembunyi itu dapat dilihat oleh banyak orang. ■ Kulit hitam bagaikan secangkir kopi yang diteguknya. Deru asap knalpot mobil seraya hembusan asap dalam tiap hisapan. Perjuangan di balik kemudi mobil mengawali kasih sayangnya kepada keluargaku, Ayah.
Itulah gambaran seseorang yang kupanggil Ayah, dahulu ketika masih bekerja sebagai sopir. Ya, seorang sopir di salah satu panti asuhan di Jakarta. Ayah, panggilan yang lebih pantas dibanding ayah yang terkesan manja, mungkin menurutku saja. Pria asli Purwokerto ini sudah hafal jalanan Ibu Kota, bahkan Pulau Jawa sekalipun. Pernah suatu waktu melihat foto perjalanan Ayah ke Bali dengan Elf tua bersama teman-teman kerjanya saat masih muda. Kalau mau tahu jalanan Jakarta, coba tanyakan saja padanya. Beliau pasti menjawab layaknya aplikasi penunjuk arah. Masih ingat dalam pikiran saat kuberada di belakang kemudi mobil pinjaman kantor Ayah. Tubuh kecilku dinaikkan ke atas pangkuannya mengarungi jalanan Pantura menuju kampung halaman. Terbayang sesaat jadi pembalap layaknya Michael Schumacer yang sedang melibas lintasan balap. Bahagia sekali rasanya. Karir balap Ayah kini berakhir sudah. Serangan di jantung Ayah akibat pengaruh jahat teman-temannya itu menghentikan langkahnya. Terbaring koma di rumah sakit mungkin merupakan jalan Allah SWT untuk menyadarkannya bahwa kebersamaan dalam keluarga adalah harta yang tak tergantikan. Alhamdulillah, pengaruh jahat Ayah dari teman-temannya akhirnya bisa disingkirkan dan beliau pulih kembali. Walau kutahu Ayah menyayangi keluarganya, tapi kebersamaan keluarga terasa masih kurang dulu. Tiga bahkan empat kali Ayah berpergian ke luar kota dalam sebulan. Hanya sedikit waktu kurasakan untuk berkumpul bersama. Namun sekarang Ayah sudah meninggalkan karir balapnya. Beliau masih bekerja di tempat yang sama, namun dengan beban yang lebih ringan. Jarang berpergian membuat kebersamaan keluarga semakin baik. Makan malam bersama mungkin hal yang paling kuidamkan dari dulu. Terima kasih pada-Mu atas yang Kau berikan pada Ayah. Mungkin sakitnya bisa jadi pelebur dosa dan tentu ada hikmah dibaliknya. Teruslah membalap walau bukan lagi dibalik kemudi mobil. Tapi teruslah membalap demi memimpin keluargamu, Ayah. Becek, bau, sesak, kotor, dan menjijikan? Yakin mau belanja ke pasar tradisional? Eiittss, tunggu. Mungkin itu dulu, namun yang pasti sekarang imej itu sudah berubah. Yuk lihat sejenak Pasar Lenteng Agung. Pasar Lenteng Agung terletak di depan Jalan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasinya strategis karena berada dekat stasiun, yakni Stasiun Lenteng Agung dan jalan penghubung Depok-Jakarta. Pasar tradisional yang dulu masih beralaskan tanah, kini beralaskan keramik. Kesan modern dan minimalis terasa saat Anda masuk ke dalam gedung abu-abu dengan garis jingga dan hijau. Pasar ini dikelola oleh PD Pasar Jaya bekerja sama dengan Pasar Sehat, BMP, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Unilever. Slogan “Pasar Bersih, Pasar Sehat” memang sangat terasa. Tidak banyak lalat berkeliaran, dan bau dari pembuangan sampah pun tidak ada. Penataan kios pedagang pun diperhatikan demi kenyamanan pengunjung. Pasar ini terbagi atas dua lantai, yakni lantai dasar dan bawah tanah. Pada lantai dasar terdapat kios-kios yang menjual pakaian, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Selain itu terdapat juga kios perhiasan, alat tulis, dan peralatan rumah tangga. Menuju ke lantai bawah, terdapat kios-kios yang menjual keperluan dapur, seperti bumbu, beras, telur, dan sayur-sayuran. Sementara untuk kios ayam, daging, dan ikan letaknya berada di bagian belakang pasar. ***** Tak lengkap rasanya bila ke pasar tradisional tanpa membawa pulang jajanan khas pasar. Di salah satu sudut Pasar Lenteng Agung terdapat kios Sumber Makmur milik Kang Asep (29). Di kiosnya dijual jajanan pasar seperti kue cucur, combro, gorengan, wajik, timus, dan sebagainya. Pria asli Cianjur ini baru beberapa bulan berjualan di Pasar Lenteng Agung.
“Jualan dari jam enam pagi sampai dua belas siang. Terus pulang ke rumah buat persiapan dagang besoknya,” katanya. Penghasilan dari berdagang cukup bagi Kang Asep untuk makan keluarganya. “Kalo jualan tiap hari gantian sama istri, kalo saya jualan istri di rumah, kalo saya di rumah gantian istri yang jualan,” tambah pria dengan satu orang anak yang masih sekolah kelas 1 SD. Pasar Lenteng Agung menjadi roda perekonomian masyarakat. Meski sudah tampak modern, suasana ketradisionalannya akan terus melekat. Interaksi penjual dan pembeli di dalamnya memberikan suatu kekhasan tersendiri. Walau beda rupa, namun rasa dan nuansa tradisional akan tetap sama. |
Archives
October 2017
Categories
All
|